Sabtu, 05 Juli 2008

ARTIS BERPOLITIK, FENOMENA APA?

Keywords: artis, politik, perubahan budaya politik, budaya mengekor, sensasi, personal branding, citra.

Ketika Rano Karno dan Dede Yusuf sukses memenangi pilkada di Tangerang dan Pilgub Jawa Barat, muncul sederet nama artis yang juga siap maju dalam pilkada. Misalnya, Saiful Jamil dan Didin Bagito yang siap maju dalam pemilihan walikota/wakil walikota Serang, Banten, Ikang Fauzi, disiapkan jadi wakil walikota tangerang, Helmy Yahya, yang disiapkan PDIP jadi wakil gubernur Sumatra Selatan. Majunya sejumlah artis ini memunculkan banyak tanggapan, ada apa dengan para artis? Ini fenomena apa?

Ada beberapa kemungkinan alasan yang bisa kita lihat untuk mengurai fenomena ini, antara lain:

1.Perubahan Sistem dan Budaya Politik.

Harian Kompas (1/6/2008) mengulas persoalan artis tyang terjun dalam dunia poltik. Pengamat politik M. Chudlori menilai fenomena ini sebagai akibat perubahan poltik dari era orde baru ke era reformasi. Dulu ketika Orde Baru militerlah yang merajai pentas politik, namun sekarang semua orang mempunyai peluang yang sama (equality) termasuk para artis untuk merambah dunia politik.Dulu artis hanya sebagai penarik massa alias pengisi acara, tapi sekarang muncul digarda depan sebagai "jago partai". Keterbukaan sistem politik ini ditambah lagi dengan perubahan sistem pemilu dari tidak langsung menjadi pemilihan langsung, sehingga popularitaslah yang diutamakan, bukan tetek bengek visi misi, karena rakyat akan memilih yang mereka kenal. Keadaan ini menguntungkan para artis, sebab mereka sering muncul di media massa.

2.Budaya Mengekor

Media massa kita sudah akrab dengn kebiasaan mengekor. Ketika suatu acara televisi seperti sinetron, iklan, film, reality show, atau acara apa pun sukses di pasaran, maka akan muncul acara sejenisnya dengan model yang hampir sama. Akibatnya, muncul keseragaman dan kesamaan bentuk acara televisi.

Budaya mengekor atau duplikasi ini rupanya juga menjangkit ke dunia plitik. Andaikata Rano Karno dan Dede Yusuf tidak menang dalam pilkada mungkin para artis kita tidak akan ramai-ramai terjun ke dunia poltik. Tapi karena mereka menang, para artis kita kemudian dipinang oleh partai bahkan ada calon yang independen, untuk mencoba mengulang kesuksesan pendahulu mereka. Artis menggunakan kesempatan ini sebagai politik aji mumpung, mumpung lagi terkenal dan kesempatan terbuka lebar. Sedangkan partai politik memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan politik paraktisnya yaitu memenagkan pilkada.

3.Mencari Sensasi

Dunia hiburan kita penuh dengan kompetisi. Munculnya artis pendatang baru yang sukses dan berbakat, mengakibatkan peluang bagi yang lama berkurang. Persaingan ini juga didukung oleh pergeseran jenis atau genre acara yang banyak menguntungkan artis pendatang baru yang terkenal.

Meredupnya job dan kesempatan di dunia entertaint ini kemudian diakali atau disiasati dengan mencari jalan lain untuk tetap populer di mata masyarakat. Politik pun menjadi pilihan, apalagi budaya politik dan sistem pemilu mendukung. “Jangan sampai hal itu dilakukan untuk mengantisipasi redupnya ketenaran di dunia hiburan, “ kata Rieke Diah Pitaloka.

Beberapa alasan di atas tidak bermaksud menegasikan keinginan baik dari para artis untuk mengabdi kepada masyarakat. Tentu kita pun harus berpikir positif untuk itu bahwa mereka juga mendasari pilihannya dengan pertimbangan mulia untuk memajukan masayarakat.

Ketiga kemungkinan alasan di atas setidaknya bisa menjawab pertanyaan mengenai maraknya para artis yang terjun ke dunia politik. Besarnya peluang yang dimiliki para artis tidak lain disebabkan karena pencitraan yang dilakukan media massa, dalam hal ini terutama televisi. Sebab media mempunyai pengaruh yang kuat untuk mengkonstruksi citra seseorang. Makin sering muncul di media, apalagi karena hal-hal yang positif maka citranya akan semakin baik. Maka tidak heran ketika menjelang pilkada dan pilpres banyak kandidat yang melakukan iklan politik dengan slogan yang luar biasa. Hal ini dilakukan untuk membentuk citra poltik yang baik di mata masyarakat atau membangun personal branding.

Namun seringkali pencitraan tersebut tidak didasari dengan kualitas tertentu. Artis dipilih lebih karena mereka terkenal, bukan karena kualitas mereka. Ini sangat riskan dan sekaligus menjadi taruhan politik. Jangan sampai mereka gagal dalam memimpin, maka akan berdampak buruk bagi mereka. Sebagaimana kata Rieke Diah Pitaloka, “ini politik, bukan sinetron!” (Kompas, 1/6/2008)


Tidak ada komentar: