Senin, 05 Mei 2008

Hiburan, Candu Bagi Anak



HIBURAN, CANDU BAGI ANAK
Aloisius Angang

Kalau dahulu Karl Marx mengatakan bahwa agama adalah candu, maka sekarang candu itu (bukan hanya agama tapi) juga televisi. Seperti halnya candu acara TV (terutama hiburan) membuat masyarakat lupa diri, lupa akan aktivitas-aktivitas dan hal-hal penting yang sedang dihadapi. Acara TV memberikan kenikmatan, membuat penonton, terutama anak- anak, betah berjam-jam di depan TV. Televisi juga mampu menghipnotis, membawa penontonnya pada dunia hiperealitas, sebuah dunia yang absurd.
Televisi saat ini berubah menjadi sahabat yang menggantikan hubungan kekerabatan dalam lingkungan sosial. Karena hampir sepanjang hari orang menikmati acara TV. Tertawa, sedih, gembira, kecewa, melompat kegirangan sesuai dengan alur atau skenario yang dibuat oleh TV. TV pun menjadi pengisi kehampaan spiritual yang memberikan kepuasan yang tak pernah habis. Kalau mengikuti Marx bahwa agama adalah candu, maka sekarang pun TV seperti agama adalah candu bagi anak-anak.
Pernyataan tersebut mungkin berlebihan. Tapi kalau kita cermati tayangan TV kita hampir semuanya berisi hiburan. Semua stasiun TV berlomba-lomba menayangkan acara hiburan yang mampu memberikan kepuasan kepada penonton. Bahkan informasi pun dibuat seperti hiburan, misalnya pada infotainment. Format acaranya pun hampir sama (kloning acara), sehingga tampak seragam, dan kompak.Kita bisa lihat sinetron yang temanya hampir sama di semua stasiun TV. Karakteristiknya juga hampir sama. Begitu juga film, reality show, komedi, kartun, musik dan lain-lain.
Kenyataan ini sangat "menguntungkan" bagi anak. Karena mereka dimanjakan dengan hiburan-hiburan TV. Pilihannya pun sangat banyak. Ibarat mereka masuk ke "dunia lain", dunia yang penuh dengan hiburan. Hiburan seperti candu tadi, menguasai anak-anak. Hiburan berubah menjadi penjajah baru alias kolonialisme gaya baru.
Maraknya tayangan hiburan di TV, seolah memberikan kesan kuat bahwa fungsi media yang paling utama adalah hiburan (to entertaint), ketimbang fungsi informasi (to inform), fungsi pendidikan (to educate) dan fungsi kontrol sosial (social control).

Efek Terhadap Anak

Persoalan yang paling serius adalah pengaruh dari tayangan itu terhadap anak. Karena bagaimanapun televisi memberikan injeksi pengaruh yang kuat terhadap keseluruhan cara berpikir, cara bertingkah laku anak. Anak dibentuk sesuai dengan konstruksi media TV. Media sebagai medium of epistemology kata Neil Postman telah menjadi referensi cara berpikir, tingkah laku dan gaya hidup anak.
Kita bisa bayangkan apa akibatnya terhadap anak ketika setiap hari disuguhi dengan sinetron yang hampa nilai yang seringkali tidak sesuai dengan realitas. Sinetron yang mengumbar kemewahan dengan topik yang hampir sama; sinetron religi yang tidak mendidik. Kemudian infotainment yang mengupas tuntas kehidupan artis, seperti kawin-cerai, perselingkuhan, gaya hidupnya yang mewah, hingga persoalan privasi yang tak perlu diketahui anak atau publik. Film-film impor yang menonjolkan kekerasan, acara buru hantu yang tidak rasional. Belum lagi komedi-komedi yang banyaknya bak jamur di musim hujan. Pengaruh ini akan lebih parah kalau orang tua tidak punya waktu untuk nonton bersama anak sehingga bisa memilah mana yang layak ditonton dan mana yang tidak.
Hiburan di TV ibarat serigala berbulu domba. Menjajah anak-anak dengan cara yang halus, menyenangkan dan menghibur, tapi mengkerdilkan perkembangan anak. Hiburan, meminjam istilah Ignatius Haryanto, diibaratkan sebagai leviathan yang menghibur.
Kita tidak bisa menyangkal bahwa hiburan itu penting bagi anak. Tapi justru kontraproduktif ketika hiburan itu "overdosis" dan tidak mendidik, yang hanya meninabobokan anak-anak dan membawanya pada dunia mimpi.

Solusi

Ketika dikritik banyak media yang berkelit di balik rasionalisasi rating. Bahwa keberadaan acara hiburan justru diminati masyarakat, terutama anak-anak dan remaja. Bahkan ada yang lebih ekstrim, jika mengganggu ganti saja dengan acara lain atau TV-nya dimatikan! Alasan ini tidak fair dan kurang bertanggungjawab, karena realitasnya TV sangat dekat dengan anak-anak. Lagi pula TV adalah media publik dan sarana hiburan yang murah bagi masyarakat. Justru di sinilah, hemat saya, letak tanggungjawab sosial media sebagaimana di atur dalam UU Pers dan UU Penyiaran. Media harus mampu merumuskan apa yang penting bagi masyarakat. Adanya label khusus pada setiap jenis acara belum menjamin masyarakat untuk mengikuti petunjuk tersebut.
Mengharapkan media televisi dengan acara hiburan yang sarat idealisme tentu tidak mungkin. Karena bagaimanapun juga media tidak bisa lepas dari kepentingan ekonomi. Tapi membiarkan media berada di padang gurun, miskin idealisme dan hampa nilai sama halnya dengan membiarkan anak-anak diracuni oleh candu hiburan.
Untuk itu ada beberapa solusi yang ditawarkan. Pertama, dewan pers harus berperan sebagaimana di atur dalam UU Pers. Demikian pun KPI harus memberikan teguran terhadap media TV yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedua, perlunya sanksi yang tegas untuk media yang melanggar UU dengan tetap memperhatikan kemerdekaan pers sebagaimana dijamin dalam UU. Ketiga, praktisi media TV harus mampu membaca situasi sosial dan mampu merumuskan apa yang penting bagi masyarakat. Keempat, pemirsa televisi harus kritis terhadap tayangan TV.

Aloisius Angang
Mahasiswa FIKOM Unitomo