Sabtu, 05 Juli 2008

ARTIS BERPOLITIK, FENOMENA APA?

Keywords: artis, politik, perubahan budaya politik, budaya mengekor, sensasi, personal branding, citra.

Ketika Rano Karno dan Dede Yusuf sukses memenangi pilkada di Tangerang dan Pilgub Jawa Barat, muncul sederet nama artis yang juga siap maju dalam pilkada. Misalnya, Saiful Jamil dan Didin Bagito yang siap maju dalam pemilihan walikota/wakil walikota Serang, Banten, Ikang Fauzi, disiapkan jadi wakil walikota tangerang, Helmy Yahya, yang disiapkan PDIP jadi wakil gubernur Sumatra Selatan. Majunya sejumlah artis ini memunculkan banyak tanggapan, ada apa dengan para artis? Ini fenomena apa?

Ada beberapa kemungkinan alasan yang bisa kita lihat untuk mengurai fenomena ini, antara lain:

1.Perubahan Sistem dan Budaya Politik.

Harian Kompas (1/6/2008) mengulas persoalan artis tyang terjun dalam dunia poltik. Pengamat politik M. Chudlori menilai fenomena ini sebagai akibat perubahan poltik dari era orde baru ke era reformasi. Dulu ketika Orde Baru militerlah yang merajai pentas politik, namun sekarang semua orang mempunyai peluang yang sama (equality) termasuk para artis untuk merambah dunia politik.Dulu artis hanya sebagai penarik massa alias pengisi acara, tapi sekarang muncul digarda depan sebagai "jago partai". Keterbukaan sistem politik ini ditambah lagi dengan perubahan sistem pemilu dari tidak langsung menjadi pemilihan langsung, sehingga popularitaslah yang diutamakan, bukan tetek bengek visi misi, karena rakyat akan memilih yang mereka kenal. Keadaan ini menguntungkan para artis, sebab mereka sering muncul di media massa.

2.Budaya Mengekor

Media massa kita sudah akrab dengn kebiasaan mengekor. Ketika suatu acara televisi seperti sinetron, iklan, film, reality show, atau acara apa pun sukses di pasaran, maka akan muncul acara sejenisnya dengan model yang hampir sama. Akibatnya, muncul keseragaman dan kesamaan bentuk acara televisi.

Budaya mengekor atau duplikasi ini rupanya juga menjangkit ke dunia plitik. Andaikata Rano Karno dan Dede Yusuf tidak menang dalam pilkada mungkin para artis kita tidak akan ramai-ramai terjun ke dunia poltik. Tapi karena mereka menang, para artis kita kemudian dipinang oleh partai bahkan ada calon yang independen, untuk mencoba mengulang kesuksesan pendahulu mereka. Artis menggunakan kesempatan ini sebagai politik aji mumpung, mumpung lagi terkenal dan kesempatan terbuka lebar. Sedangkan partai politik memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan politik paraktisnya yaitu memenagkan pilkada.

3.Mencari Sensasi

Dunia hiburan kita penuh dengan kompetisi. Munculnya artis pendatang baru yang sukses dan berbakat, mengakibatkan peluang bagi yang lama berkurang. Persaingan ini juga didukung oleh pergeseran jenis atau genre acara yang banyak menguntungkan artis pendatang baru yang terkenal.

Meredupnya job dan kesempatan di dunia entertaint ini kemudian diakali atau disiasati dengan mencari jalan lain untuk tetap populer di mata masyarakat. Politik pun menjadi pilihan, apalagi budaya politik dan sistem pemilu mendukung. “Jangan sampai hal itu dilakukan untuk mengantisipasi redupnya ketenaran di dunia hiburan, “ kata Rieke Diah Pitaloka.

Beberapa alasan di atas tidak bermaksud menegasikan keinginan baik dari para artis untuk mengabdi kepada masyarakat. Tentu kita pun harus berpikir positif untuk itu bahwa mereka juga mendasari pilihannya dengan pertimbangan mulia untuk memajukan masayarakat.

Ketiga kemungkinan alasan di atas setidaknya bisa menjawab pertanyaan mengenai maraknya para artis yang terjun ke dunia politik. Besarnya peluang yang dimiliki para artis tidak lain disebabkan karena pencitraan yang dilakukan media massa, dalam hal ini terutama televisi. Sebab media mempunyai pengaruh yang kuat untuk mengkonstruksi citra seseorang. Makin sering muncul di media, apalagi karena hal-hal yang positif maka citranya akan semakin baik. Maka tidak heran ketika menjelang pilkada dan pilpres banyak kandidat yang melakukan iklan politik dengan slogan yang luar biasa. Hal ini dilakukan untuk membentuk citra poltik yang baik di mata masyarakat atau membangun personal branding.

Namun seringkali pencitraan tersebut tidak didasari dengan kualitas tertentu. Artis dipilih lebih karena mereka terkenal, bukan karena kualitas mereka. Ini sangat riskan dan sekaligus menjadi taruhan politik. Jangan sampai mereka gagal dalam memimpin, maka akan berdampak buruk bagi mereka. Sebagaimana kata Rieke Diah Pitaloka, “ini politik, bukan sinetron!” (Kompas, 1/6/2008)


Selasa, 17 Juni 2008

KASUS MONAS DAN PENGALIHAN ISU BBM


Keywords: Bahan bakar minyak, kasus monas, pengalihan isu, firebreaking,


Di tengah maraknya aksi mahasiswa dan masyarakat menolak kenaikan BBM kita digemparkan dengan peristiwa monas. Serentak peristiwa ini menyedot perhatian media massa dan public. Pelbagai pihak termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengecam peristiwa ini dan menuntut supaya pelaku dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Demo menuntut pembubabaran FPI pun merebakl di mana mana.

Hemat saya kasus ini menarik dan memunculkan pelbagai persepsi yang miring. Salah satunya adalah kasus ini sengaja diciptakan oleh pihak tertentu untuk mengalihkan perhatian masyarakat dan mahasiswa dari topik yang lagi hangat sekarang ini yakni penolakan kenaikan BBM, BLT dan kasus UNAS.

Apa pun alasannya persoalan kenaikan BBM merupakan persoalan yang sangat penting, karena menyangkut hajat hidup orang banyak, terutama orang miskin yang mencakup setengah jumlah penduduk Indonesia. Kenaikan BBM telah menyengsarakan rakyat, menambah berat beban hidup sebagian besar rakyat Indonesia. Itulah sebabnya banyak rakyat dan mahasiswa yang turun ke jalan untuk menolak kebijakan pemerintah tersebut.

Namun demo mahasiswa dan masyarakat pun dikecam pemerintah. Katanya berbeda pendapat boleh saja tetapi harus disampaikan dengan cara yang tepat, tidak perlu harus demo di jalanan. Apalagi penolakan kebijakan kenaikan BBM bisa menjadi bumerang bagi SBY-JK dalam pilpres 2009

Pemerintah memang di satu sisi tidak ingin menaikan BBM tetapi di sisi lain harga minyak dunia yang terus menaik dan upaya menyelamatkan defisit APBN terpaksa BBM harus dinaikkan. Sementara masyarakat tidak setuju dengan kenaikan BBM, karena menyengsarakan masyarakat dan berakibat pada kenaikan harga bahan pokok dan kemiskinan meningkat.

Dua kutub kepentingan yang berbeda ini beradu di media massa. Wacana tuntutan masyarakat dan kebijakan pemerintah menjadi grand isu di media massa. Pemerintah disibukkan dengan aksi masayarakat akibat efek lanjut kenaikan BBM. Tentu hal ini membuat pemerintah tidak nyaman, apalagi penolakan kenaikan BBM bukan hanya dari mahasiswa dan masyarakat tapi juga dari kalangan politisi, yang bukan tidak mungkin akan menjadikan kasus ini sebagai senjata untuk menjegal SBY-JK dalam pilpres 2009. Sehingga memunculkan upaya untuk mengalihkan isu.

Isu pun sempat digiring ke kasus UNAS yang lebih menyoroti tindak kriminal dan pelanggaran HAM yang dilakukan mahasiswa dan polisi. Juga isu demo mahasiswa yang dibiayai oleh pihak ketiga. Namun belum berhasil membuyarkan perhatian masyarakat dan mahasiswa dari isu kenaikan BBM. Kasus monas hemat saya merupakan bagian dari upaya untuk meredam kamarahan masayarakat terkait kenaikan BBM, karena masyarakat dialihkan perhatiannya pada tindakan brutal anggota FPI terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama. Akhirnya sekarang isu Monas lebih banyak dibicarakan masyarakat dan lupa soal BBM.

Ada beberapa alasan: satu, ketika kerusuhan terjadi aparat keamanan tidak sigap mengatasi peristiwa ini yang berakibat banyak korban gegar otak, memar dan terluka parah. Padahal hemat saya polisi bisa saja menciduk pelaku pada saat itu setelah melihat tindakan kriminal anggota FPI. Kedua, selang waktu antara kejadian dan upaya polisi mengusut kejadian tersebut cukup lama, padahal pihak kepolisian sudah berencana mengusut kajadian ini sesudah kejadian tersebut. Bahkan Presiden sudah ber-statement keras pasca kejadian itu untuk mengusut tuntas aksi brutal FPI. Akibatnya Munarman, panglima laskar, lolos dan sekarang jadi buronan polisi. Dua hal di atas menunjukan sikap pemerintah yang membiarkan isu tersebut bergolak dimasyarakat. Sehingga di satu sisi bisa melupakan isu BBM.

Dalam ilmu strategi kehumasan istilah pengalihan isu ini disebut fire breaking,*) yakni upaya menggeser pusat perhatian pada isu lain. Media massa sangat berperan penting dalam hal ini. Teori media massa seperti agenda setting mengatakan bahwa media massa mampu merumuskan isu yang bisa menjadi public opinion. Isu-isu yang diangkat media massa mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan opini publik.

Oleh karena itu, sebagai mahasiswa dan masyarakat kita harus jeli memperhatikan isu media massa. Karena seringkali media mengaburkan perhatian masayarakat dari isu pokok, seperti pada kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh tokoh orba Ginanjar Kartasasmita*). Pemberitaan media pun seolah-olah menempatkan Ginanjar sebagai tokoh yang teraniaya, bukan pada aspek korupsi yang menimpannya. Kita jangan sampai terpengaruh dengan munculnya isu-isu baru, yang meskipun harus kita sikapi juga. Sehingga kita tetap konsisten pada perjuangan kita.

* lihat Redi Panuju, Relasi Kuasa, Pertarungan Memenangkan Opini Public dan Peran Dalam Transformsi Social, Pusataka pelajar, Yogyakarta, 2002, hal. 22-23.

Minggu, 01 Juni 2008

KEMENANGAN ARTIS DALAM PILKADA


Keywords: artis, pilkada,pengaruh media massa,

Kemenangan pasangan Ahmad Heriawan dan Dede Yusuf (HADE) dalam Pilgub Jawa Barat beberapa waktu lalu menyulut perhatian dari pelbagai kalangan. Terutama kalangan Partai Politik dan para pengamat. Betapa tidak, pasangan yang sejak awal tidak dijagokan untuk menang dalam pilkada ini justru keluar sebagai pemenang, mengalahkan pasangan lain dari partai-partai besar yang dianggap lebih berpeluang dan memiliki pengalaman politik.

Ironisnya lagi, PDIP dan Golkar yang kalah dalam pertarungan itu justru memiliki konstituen paling banyak di Jawa Barat dibandingkan dengan parpol lain. Lalu kenapa justru HADE yang menang?

Hitung-hitungan dan kalkulasi politik sebelumnya termasuk hasil jajak pendapat meleset. Analisis dari pengamat mengatakan bahwa parpol besar, jumlah massa bamyak, calon berpengalaman politik bukan faktor utama menang dalam pilkada, melainkan juga figur yang dicalonkan dikenal atau tidak oleh masyarakat pemilih.

Setuju atau tidak faktor Dede Yusuf merupakan faktor penentu kemenangan pasangan HADE dalam pilgub Jawa Barat. Siapa yang tidak kenal Dede Yusuf? Ia seorang artis dan aktor dalam beberapa film laga. Masyarakat yang sudah akrab dengan televisi terutama tahun 90-an pasti tidak susah untuk mengenal sosok ini. Apalagi jika peran yang dimainkan Dede Yusuf merupakan peran protagonist, peran yang selalu ada pada pihak penonton. Singkatnya dia sering muncul di televisi.

Dengan demikian pasangan HADE tidak perlu sibuk atau berusaha ekstra keras untuk dikenal oleh rakyat. Mereka sudah unggul dalam hal itu. Tinggal mereka menambah poin-poin lain yang dianggap mampu mendulang dukungan rakyat, seperti program-program politik atau kelebihan-kelebihan yang akan mereka perjuangkan.

Kemenangan Dede Yusuf kemudian menyulut sejumlah partai politik untuk mencalonkan artis dalam pilkada. Apalagi serbelumnya juga Rano Karno juga menang dalam pilkada sebagai wakil walikota. Akhir-akhir ini pun banyak artis yang terjun dalam politik praktis, seperti Saiful Jamil, Ulfa Dwiyanti, Didin Bagito, Helmi Yahya yang kabarnya sudah didekati partai untuk maju dalam pilkada dan mungkin akan semakin banyak artis lain yang akan terjun ke kancah politik.

Secara pribadi, tidak ada masalah kalau artis terjun dalam bidang politik, tentu bukan hanya sebagai pengisi acara dalam kampanye politik, tetapi sebagai jago partai. Sebab itu adalah hak setiap warga negara dan itu dijamin dalam Undang-Undang. Tetapi yang lebih penting adalah mereka mampu mewujudkan harapan rakyat kebanyakan. Mampu mensejahterakan rakyat dan membawa rakyat ke arah perubahan yang lebih baik.

Namun untuk mencapai hal itu, mereka harus mempunyai kualitas yang lebih baik, memiliki kemampuan memimpin, kemampuan manajerial yang baik, serta kualitas berpolitik lain. Sebab mereka akan memimpin banyak instansi di bawahnya yang tentu punya pengalaman yang banyak berhubungan dengan tugas yang diembannya. Dan bagaimana mereka bekerjasama secara baik dengan seluruh elemen masyarakat. Ini tentu tidak mudah. Pengalaman menjadi salah satu faktor penentu dalam hal ini. Apalagi masyarakat heterogen dalam banyak hal, termasuk kepentingan politik. Nah bagaimana mereka merangkul pelbagai kepentingan yang berbeda ini?

Saya justru menyangsikan kemampuan ini sebab mereka sedang masuk dunia lain. Dunia yang asing bagi mereka sementara mereka harus berperan penting di situ. Mereka biasanya menyanyi, syuting, main film, membawa acara, main komedi, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan dunia entertaint. Tentu dunia politik bukanlah dunia entertaint. Dunia politik bukan dunia akting, tetapi dunia politik adalah dunia yang menuntut kemampuan lebih. Di sini kerawanan akan muncul. Jangan sampai mereka tidak bisa berperan secara maksimal. Mereka justru sebagai penonton dan akan jadi alat untuk kepentingan politik partai tertentu. Jangan-jangan mereka akan mengentertainkan dunia politik. Memang tidak menjamin bahwa orang pintar, punya pengalaman politik, terkenal akan mampu memimpin rakyat. Tetapi akan lebih berbahaya jika kita ramai-ramai memilih pemimpin bukan karena kualitas mereka, tetapi karena factor psikologis.

Pengaruh Media Massa

Media massa terutama televise mempunyai peranan yang penting dalam masyarakat. Televisi merupakan media massa yang dapat menayampaikan pesan melalui gambar bergerak sebagai kekuatan andalannya, suara atau tulisan, atau gambar tidak bergerak sebagai kekuatan pendukung. Sehingga dengan demikian televisi mempunyai karakteristik yang lebih kuat dibandingkan dengan media massa yang lain seperti koran, majalah, atau radio. Televisi menjadi bintang media massa atau televisi menjadi media idola masyarakat. Sehingga apa pun yang tersaji di TV akan mudah diketahui masyarakat.

Karena pengaruhnya yang besar, orang seringkali memanfaatkan televise untuk kepentingan tertentu, seperti iklan baik produk maupun layanan masyarakat, termasuk kampanye politik. Sebab menurut penelitian mengenai terpaan media, terpaan televisi lebih besar ketimbang media lain. Sebab televisi memiliki karakteristik yang lebih kuat daripada media lain. Televisi lebih mampu menghadirkan realitas masyarakat daripada media yang lain. Akibat yang terlihat mkisalnya orang akan bangga bila kegiatan atau pernyataannya masuk televisi.

Terkait pilkada kita seringkali menyaksikan begitu banyak calon yang melakukan kampanye melalui media televisi.Itu karena pengaruhnya yang lebih besar. Sebab pemilih akan lebih suka memilih orang yang mereka kenal ketimbang yang belum mereka kenal. Apalagi jika orang yang mereka kenal itu pernah berbuat baik untuk mereka. Dan di antara sarana komunikasi massa yang ada televisi merupakan pilihan yang lebih tepat. Apalagi budaya baca masyarakat kita masih rendah karena salah satunya faktor pendidikan yang masih rendah dan ekonomi yang juga masih lemah. Kondisi ini tentu cendrung menjadikan televisi sebagai media alternatif yang lebih mudah.

Dalam hal ini artis lebih berpeluang karena setiap hari mereka muncul di televisi baik sebagai pembawa acara, penyanyi, pemain komedi, bintang iklan dan peran-peran lain dalam dunia entertain. Mereka lebih mudah dikenal di masyarakat. Apalagi jika artis tersebut adalah idola mereka. Akibat kemunculan mereka ditelevisi, banyak orang kemudian mengidolakan mereka, ketimbang tokoh lain.

Keadaan ini kemudian dimanfaatkan oleh partai politik untuk memenangkan percaturan politik dalam merebut kekuasaan. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa mayoritas pemilih kita adalah pemilih yang memilih pemimpin lebih karena factor psikologis bukan pemilih yang rasional. Memilih bukan karena pertimbangan kualitas, tetapi karena ganteng, cantik, dan lebih lagi karena mereka kenal. Kenal dalam arti tahu, bukan paham visi misinya, atau pun program-programnya.

Terjunnya para artis dalam paketan pilkada hemat saya meruapakan kecelakaan politik. Ini terutama bagi para artis yang tiba-tiba terjun sebagai calon bupati/wakil bupati, calon walikota/wakil walikota, calon gubernur/wakil gubernur, tanpa pernah mengikuti proses politik (baca: kaderisasi politik). Realitas ini semakin mengentalkan aspek kepentingan politik partai ketimbang tujuan untuk memajukan masyarakat. Partai lebih memburu menang pilkada ketimbang slogan politik untuk mengusahakan masyarakat yang lebih maju.

Senin, 05 Mei 2008

Hiburan, Candu Bagi Anak



HIBURAN, CANDU BAGI ANAK
Aloisius Angang

Kalau dahulu Karl Marx mengatakan bahwa agama adalah candu, maka sekarang candu itu (bukan hanya agama tapi) juga televisi. Seperti halnya candu acara TV (terutama hiburan) membuat masyarakat lupa diri, lupa akan aktivitas-aktivitas dan hal-hal penting yang sedang dihadapi. Acara TV memberikan kenikmatan, membuat penonton, terutama anak- anak, betah berjam-jam di depan TV. Televisi juga mampu menghipnotis, membawa penontonnya pada dunia hiperealitas, sebuah dunia yang absurd.
Televisi saat ini berubah menjadi sahabat yang menggantikan hubungan kekerabatan dalam lingkungan sosial. Karena hampir sepanjang hari orang menikmati acara TV. Tertawa, sedih, gembira, kecewa, melompat kegirangan sesuai dengan alur atau skenario yang dibuat oleh TV. TV pun menjadi pengisi kehampaan spiritual yang memberikan kepuasan yang tak pernah habis. Kalau mengikuti Marx bahwa agama adalah candu, maka sekarang pun TV seperti agama adalah candu bagi anak-anak.
Pernyataan tersebut mungkin berlebihan. Tapi kalau kita cermati tayangan TV kita hampir semuanya berisi hiburan. Semua stasiun TV berlomba-lomba menayangkan acara hiburan yang mampu memberikan kepuasan kepada penonton. Bahkan informasi pun dibuat seperti hiburan, misalnya pada infotainment. Format acaranya pun hampir sama (kloning acara), sehingga tampak seragam, dan kompak.Kita bisa lihat sinetron yang temanya hampir sama di semua stasiun TV. Karakteristiknya juga hampir sama. Begitu juga film, reality show, komedi, kartun, musik dan lain-lain.
Kenyataan ini sangat "menguntungkan" bagi anak. Karena mereka dimanjakan dengan hiburan-hiburan TV. Pilihannya pun sangat banyak. Ibarat mereka masuk ke "dunia lain", dunia yang penuh dengan hiburan. Hiburan seperti candu tadi, menguasai anak-anak. Hiburan berubah menjadi penjajah baru alias kolonialisme gaya baru.
Maraknya tayangan hiburan di TV, seolah memberikan kesan kuat bahwa fungsi media yang paling utama adalah hiburan (to entertaint), ketimbang fungsi informasi (to inform), fungsi pendidikan (to educate) dan fungsi kontrol sosial (social control).

Efek Terhadap Anak

Persoalan yang paling serius adalah pengaruh dari tayangan itu terhadap anak. Karena bagaimanapun televisi memberikan injeksi pengaruh yang kuat terhadap keseluruhan cara berpikir, cara bertingkah laku anak. Anak dibentuk sesuai dengan konstruksi media TV. Media sebagai medium of epistemology kata Neil Postman telah menjadi referensi cara berpikir, tingkah laku dan gaya hidup anak.
Kita bisa bayangkan apa akibatnya terhadap anak ketika setiap hari disuguhi dengan sinetron yang hampa nilai yang seringkali tidak sesuai dengan realitas. Sinetron yang mengumbar kemewahan dengan topik yang hampir sama; sinetron religi yang tidak mendidik. Kemudian infotainment yang mengupas tuntas kehidupan artis, seperti kawin-cerai, perselingkuhan, gaya hidupnya yang mewah, hingga persoalan privasi yang tak perlu diketahui anak atau publik. Film-film impor yang menonjolkan kekerasan, acara buru hantu yang tidak rasional. Belum lagi komedi-komedi yang banyaknya bak jamur di musim hujan. Pengaruh ini akan lebih parah kalau orang tua tidak punya waktu untuk nonton bersama anak sehingga bisa memilah mana yang layak ditonton dan mana yang tidak.
Hiburan di TV ibarat serigala berbulu domba. Menjajah anak-anak dengan cara yang halus, menyenangkan dan menghibur, tapi mengkerdilkan perkembangan anak. Hiburan, meminjam istilah Ignatius Haryanto, diibaratkan sebagai leviathan yang menghibur.
Kita tidak bisa menyangkal bahwa hiburan itu penting bagi anak. Tapi justru kontraproduktif ketika hiburan itu "overdosis" dan tidak mendidik, yang hanya meninabobokan anak-anak dan membawanya pada dunia mimpi.

Solusi

Ketika dikritik banyak media yang berkelit di balik rasionalisasi rating. Bahwa keberadaan acara hiburan justru diminati masyarakat, terutama anak-anak dan remaja. Bahkan ada yang lebih ekstrim, jika mengganggu ganti saja dengan acara lain atau TV-nya dimatikan! Alasan ini tidak fair dan kurang bertanggungjawab, karena realitasnya TV sangat dekat dengan anak-anak. Lagi pula TV adalah media publik dan sarana hiburan yang murah bagi masyarakat. Justru di sinilah, hemat saya, letak tanggungjawab sosial media sebagaimana di atur dalam UU Pers dan UU Penyiaran. Media harus mampu merumuskan apa yang penting bagi masyarakat. Adanya label khusus pada setiap jenis acara belum menjamin masyarakat untuk mengikuti petunjuk tersebut.
Mengharapkan media televisi dengan acara hiburan yang sarat idealisme tentu tidak mungkin. Karena bagaimanapun juga media tidak bisa lepas dari kepentingan ekonomi. Tapi membiarkan media berada di padang gurun, miskin idealisme dan hampa nilai sama halnya dengan membiarkan anak-anak diracuni oleh candu hiburan.
Untuk itu ada beberapa solusi yang ditawarkan. Pertama, dewan pers harus berperan sebagaimana di atur dalam UU Pers. Demikian pun KPI harus memberikan teguran terhadap media TV yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedua, perlunya sanksi yang tegas untuk media yang melanggar UU dengan tetap memperhatikan kemerdekaan pers sebagaimana dijamin dalam UU. Ketiga, praktisi media TV harus mampu membaca situasi sosial dan mampu merumuskan apa yang penting bagi masyarakat. Keempat, pemirsa televisi harus kritis terhadap tayangan TV.

Aloisius Angang
Mahasiswa FIKOM Unitomo